Selasa, 15 April 2025

BOOK REVIEW: MANAGING PUBLIC SERVICES: IMPLEMENTING CHANGES OLEH: TONY L. DOHERTY & TERRY HORNE ) : CHAPTER III MANAGING STRATEGY AND CHANGE IN PUBLIC SERVICES


Pada Bab III Doherty dan Horne (2002) membahas terkait strategi dalam mengimplemetasikan perubahan serta tantangan yang menyertainya dalam pelayanan publik. Strategi dan implementasi strategi merupakan kunci keberhasilan perubahan. Dhorety menjelaskan strategi sebagai “identifying the aim of an organizationan and the specific actions that need to be taken in order to relaize it” sedangkan Jhonson dan Scholes menjelaskan “strategy is that which describes how an organization will match its resources to its environment so as to meet the expectations of its stakeholders”. Lebih lanjut Doherty juga menjelaskan terkait tujuan strategi (hasil akhir yang ingin dicapai), sasaran strategis (langkah-langkah untuk mencapai tujuan strategis),  serta rencana strategis (rencana yang menghubungkan tujuan, sasaran, dan taktik).Konsep manajemen strategis membawa serta asumsi tentang hak dan wewenang manajer, pandangan mengenai bagaimana organisasi harus disusun dan untuk kepentingan siapa, serta pendapat tentang jenis orang yang seharusnya dipekerjakan dan bagaimana dan bagaimana keputusan harus diambil.

Manajemen Strategis memiliki beberapa manfaat, antara lain:

  1. Holistik: Keputusan hanya diambil dengan mempertimbangkan informasi lengkap tentang dampaknya terhadap seluruh organisasi.
  2. Jangka Panjang: Menghindari pendekatan jangka pendek, yaitu pengambilan keputusan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
  3. Koordinasi: Selalu menjadi tantangan untuk mengoordinasikan departemen, unit, dan lembaga lainnya.
  4. Kesiapan: Perumusan strategi mendorong pemikiran empatik dan prediktif terhadap ancaman bagi kelompok klien dan sumber daya, serta mendorong perencanaan kontinjensi.
  5. Evaluasi: Memudahkan dalam menetapkan kriteria untuk mengukur kinerja.
  6. Kreativitas: Spekulasi tentang masa depan mendorong penggunaan imajinasi dan dapat menghasilkan pemikiran kreatif mengenai layanan atau metode penyampaian yang baru.

 

Namun dalam praktiknya, manajemen strategis juga harus menghadapi masalah-masalah, antara lain:

  • Ketergantungan pada Tren dan Informasi: Keberhasilan organisasi bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi mengantisipasi perubahan mendadak. Strategi hanya sebaik informasi yang digunakan; jika lingkungan tidak stabil, keakuratan informasi dipertanyakan.
  • Biaya Tinggi dan Manfaat yang Sulit Diukur: Manajemen strategis memerlukan investasi besar, tetapi manfaatnya sulit dibuktikan. Sulit menentukan ukuran kinerja yang tepat.
  • Ketidakakuratan Laporan Kinerja: Laporan tahunan sering kali lebih mencerminkan hubungan masyarakat daripada kinerja nyata. Kinerja baik belum tentu karena strategi yang diterapkan, begitu pula kinerja buruk belum tentu akibat strategi yang salah.
  • Kurangnya Fleksibilitas dalam Situasi Darurat: Strategi yang sudah dirancang dapat menjadi hambatan dalam menghadapi peristiwa tak terduga seperti bencana alam, perang, atau krisis ekonomi.
  • Kebutuhan akan Adaptasi Cepat: Organisasi yang mampu beradaptasi dengan cepat, belajar dari kesalahan, dan segera mengubah kebijakan yang tidak efektif memiliki peluang bertahan lebih tinggi. Fleksibilitas dalam mengubah struktur organisasi, prosedur, layanan, dan mitra kerja menjadi faktor kunci keberhasilan.
  • Kontradiksi antara Strategi dan Pragmatisme: Dalam kondisi tertentu, prinsip dan nilai dapat diabaikan demi kepraktisan dan kelangsungan organisasi. Pragmatism dan adaptasi cepat lebih diutamakan dibanding kepatuhan ketat terhadap strategi yang telah dirancang sebelumnya.

Evaluasi manajemen strategis tidak hanya bergantung pada hasil akhir, karena keberhasilan bisa terjadi karena keberuntungan, sementara kegagalan tidak selalu menunjukkan strategi yang buruk. Terdapat dua pendekatan dalam menilai startegi. Pertama, strategic fit, yaitu kesesuaian antara tujuan organisasi dengan sumber daya internalnya. Untuk mencapai strategic fit, organisasi mungkin perlu menutup atau mengubah fungsi departemen dan melatih ulang tenaga kerja. Kedua, strategic capability, yaitu kemampuan untuk menjalankan strategi dengan efektif. Jika lingkungan stabil, strategi dapat dirancang dengan jelas dan mengikuti prinsip SMART (Spesifik, Terukur, Disepakati, Realistis, dan Terjadwal). Namun, dalam lingkungan yang tidak stabil, pendekatan yang lebih fleksibel diperlukan, seperti menggunakan "peta" strategi yang memungkinkan adaptasi terhadap perubahan. Sejarah menunjukkan bahwa strategi tidak selalu berhasil, terutama karena faktor teknologi dan moral tenaga kerja. Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah melakukan perubahan dan penyesuaian strategi secara berkala untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas organisasi.

PERUBAHAN STRATEGIS DALAM LAYANAN PUBLIK

Organisasi publik bertujuan untuk mengatasi kegagalan pasar dan menanggapi kebutuhan masyarakat melalui proses politik. Untuk mengelola perubahan strategis dalam layanan publik, penting untuk memahami pemangku kepentingan yang terlibat, meliputi pengguna layanan, pembayar pajak, auditor publik, badan pengawas dan kelompok kepentingan swasta. Perubahan strategis dalam layanan publik harus melibatkan partisipasi mayarakat, karena masyarakat merupakan pengguna layanan publik. Metode, yang umum digunakan dalam menganalisis lingkungan eksternal layanan publik adalah:

1.     PEST Analysis: Menganalisis faktor Politik, Ekonomi, Sosial, dan Teknologi.

2.     TEMPLES Analysis: Lebih luas dari PEST, mencakup Teknologi, Ekonomi, Pasar, Politik, Legal, Etika, dan Sosial.

3.     SWOT Analysis: Mengidentifikasi Kekuatan (Strengths), Kelemahan (Weaknesses), Peluang (Opportunities), dan Ancaman (Threats).

Integrasi SWOT dengan TEMPLES dapat membantu dalam mengidentifikasi ancaman dan peluang di setiap aspek strategis. Analisis ini memberikan dasar untuk keputusan strategis yang lebih adaptif dalam menghadapi tantangan layanan publik yang terus berkembang.

PENDEKATAN DALAM MANAJEMEN STRATEGIS

Terdapat dua pendekatan dalam manajemen strategis yaitu Perskriptif (Ansoff) atau emergen (Mintzberg).

PENDEKATAN PERSKRIPTIF

Disebut demikian karena pendekatan ini berasumsi bahwa cara mengelola perubahan dapat ditentukan melalui proses logis yang melibatkan penetapan tujuan dan sasaran secara berurutan serta merinci langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakannya. Pendekatan perskriptif berkembang sejak 1980-an dan sering disebut sebagai teori keuanggulan. Pendekatan ini lebih sesuai dalam lingkungan stabil dan dapat diprediksi. Pendekatan ini berfokus pada perencanaan yang jelas dan perubahan struktural sebagai pendorong utama transformasi organisasi.

Karakteristik Pendekatan Preskriptif dalam Mengelola Perubahan

1.     Struktur yang lebih sederhana lebih disukai.

2.     Perbedaan pendapat dan tantangan tidak boleh dihindari.

3.     Banyak aspek harus dikelola secara bersamaan.

4.     Diperlukan perubahan dalam tenaga kerja dan struktur organisasi.

Model yang terkenal adalah McKinsey 7S, yang mengidentifikasi tujuh elemen penting dalam perubahan organisasi antara lain:

1.     Structure: struktur organisasi

2.     Strategy: arah umum yang dipilih oleh organisasi

3.     System: Prosedur yang memungkinkan organisasi berfungsi

4.     Style: Pendekatan yang diambil oleh organisasi dan para pemimpinnya

5.     Staff: karyawan serta kebutuhan mereka dalam pengembangan dan motivasi

6.     Skills: kompetensi yang dibutuhkan dalam organisasi

7.     Superordinate Goals: mengekspresikan nilai dan visi organisasi

Namun, model ini tidak secara mendalam menjelaskan hubungan antar elemen. Beberapa ahli mengusulkan penambahan elemen kedelapan, yaitu S untuk Synergy, yang menekankan bagaimana elemen-elemen tersebut bekerja secara terpadu.

PENDEKATAN EMERGEN

Pendekatan emergent beranggapan bahwa perubahan dalam organisasi tidak bisa direncanakan secara kaku atau jangka panjang, karena lingkungan organisasi selalu berubah secara dinamis. Banyak faktor eksternal dan internal yang memengaruhi organisasi  yang sulit diprediksi secara pasti. Pendekatan emergen menekankan dimensi politik dan budaya dalam perubahan serta berargumen bahwa keseluruhan proses perubahan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan logika linear yang rasional. Dimensi rasional dari perubahan tidak diabaikan, tetapi dianggap saling berkaitan dengan proses budaya dan politik yang melibatkan pihak yang terdampak maupun yang diuntungkan oleh perubahan tersebut.

Menurut Pettigrew, setiap keputusan perubahan melibatkan tiga elemen yang terus berinteraksi satu sama lain, yaitu:

  • Konteks: Mengacu pada lingkungan, yaitu mengapa perubahan ini diperlukan?
  • Konten: Menjawab pertanyaan, tindakan apa yang harus dilakukan?
  • Proses: Menjelaskan bagaimana tindakan tersebut akan diimplementasikan?

Perbedaan Pendekatan Preskriptif dan Pendekatan Emergent dalam manajemen perubahan

Aspek

Pendekatan Preskriptif

Pendekatan Emergent

Definisi

Pendekatan yang merancang perubahan secara sistematis dengan tujuan yang jelas dan langkah-langkah yang berurutan.

Pendekatan yang menyesuaikan perubahan dengan kondisi lingkungan yang dinamis melalui eksperimen dan adaptasi.

Karakteristik

- Berbasis rencana jangka panjang.- Perubahan terjadi secara berurutan dan terstruktur.- Menggunakan strategi yang ditetapkan sebelumnya.- Memiliki kontrol ketat terhadap implementasi perubahan.

- Fleksibel dan adaptif terhadap kondisi.- Tidak selalu mengikuti rencana yang sudah ditetapkan.- Perubahan terjadi secara bertahap dan iteratif.- Fokus pada pembelajaran dari pengalaman.

Fokus Utama

Mengontrol proses perubahan untuk mencapai hasil yang sudah ditentukan sebelumnya.

Mengakomodasi perubahan yang terjadi secara alami dalam organisasi dan lingkungan eksternal.

Kelebihan

- Memiliki arah yang jelas.- Mempermudah koordinasi antar bagian organisasi.- Memberikan kepastian dalam pengambilan keputusan.

- Lebih responsif terhadap perubahan lingkungan.- Meningkatkan inovasi karena bersifat eksperimental.- Lebih realistis dalam menghadapi ketidakpastian.

Kekurangan

- Kurang fleksibel terhadap perubahan tak terduga.- Bisa gagal jika lingkungan berubah drastis.- Membutuhkan waktu lama untuk menyesuaikan perubahan baru.

- Tidak selalu memiliki arah yang jelas.- Sulit untuk dikelola dalam organisasi besar.- Berisiko terjadi inefisiensi dalam implementasi.

Contoh dalam Pelayanan Publik

Reformasi Birokrasi: Pemerintah menetapkan program reformasi birokrasi dengan tahapan yang jelas, seperti penyederhanaan regulasi, peningkatan transparansi, dan digitalisasi layanan publik yang dirancang secara sistematis.

Program Kota Pintar (Smart City): Pemerintah daerah menyesuaikan teknologi dan kebijakan layanan publik berdasarkan kebutuhan warga yang terus berubah, misalnya dengan mengembangkan aplikasi layanan masyarakat yang berkembang secara bertahap sesuai dengan umpan balik pengguna.

 

Mintzberg menggambarkan sifat saling melengkapi antara pendekatan emergen dan preskriptif dalam konsep "merancang perubahan". Konsep ini menekankan bahwa strategi dapat berkembang secara spontan melalui pembelajaran dan adaptasi terhadap lingkungan, selain dari strategi yang telah direncanakan sebelumnya. Mintzberg menyarankan sebuah proses dialogis sebagai cara untuk mencapai integrasi kedua pendekatan tersebut. Penerapan perubahan dalam layanan publik rumit karena adanya agenda pribadi dan konflik kepentingan di antara para manajer dan profesional yang terlibat.

Mengelola perubahan melibatkan berpindah antara pemikiran dalam dunia internal dan percakapan dalam dunia eksternal.

  • Keterampilan utama dalam dunia internal: Keterampilan berpikir
  • Keterampilan utama dalam dunia eksternal: Keterampilan percakapan

Pendekatan percakapan untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan, seperti persuasi, delegasi, dan konseling. Percakapan awal melibatkan pengumpulan informasi, memahami sudut pandang orang lain secara empatik, dan berpikir bersama tentang solusi yang memungkinkan.

Beberapa kategori pertanyaan yang berguna dalam proses ini adalah:

1.     Mengelola Motif Perubahan

2.     Mendeteksi dan Menyelidiki (Memahami perspektif pemangku kepentingan dan memetakan kekuatan yang mendukung atau menentang perubahan)

3.     Mempersiapkan Dasar Perubahan (Membayangkan perubahan sudah diterapkan dan mengevaluasi dampaknya)

4.     Mencari Sekutu (Mengidentifikasi individu atau kelompok yang akan mendukung perubahan)

5.     Mengelola Pihak Luar (Pemangku kepentingan eksternal dapat mempengaruhi keberhasilan perubahan)

6.     Mengelola Pihak Dalam (Mengatasi kekhawatiran karyawan terkait status, keamanan, atau kualitas hidup kerja.)

7.     Mengelola Atasan (Keterlibatan atasan sangat penting untuk kesuksesan perubahan.)

8.     Mengelola Hasil (Menentukan standar keberhasilan dan bagaimana menilai pencapaian)

9.     Langkah Awal Perubahan (Strategi awal harus mengumpulkan informasi tanpa terlalu banyak mengungkapkan rencana)

10. Langkah Akhir Perubahan (Rencana cadangan diperlukan jika perubahan menghadapi kegagalan)

 

Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, pemikiran menjadi lebih personal, empatik, dan politis. Yang pertama dan utama adalah memahami kepentingan mereka—yaitu menemukan dan mengelola motif perubahan.

Gambar: A conversational approach to managing change (Doherty dan Horne, 2002: 74)


Gambar tersebut menggambarkan Pendekatan Percakapan dalam Mengelola Perubahan, yang menunjukkan interaksi antara Pemikiran Dunia Batin (Inner World Thinking) dan Percakapan Dunia Luar (Outer World Conversations) dalam proses manajemen perubahan. Gambar tersebut menyoroti empat tahap utama yang menghubungkan pemikiran dan percakapan:

  • Memahami (Making Sense) – menganalisis situasi
  • Merumuskan (Formulating) – mengembangkan strategi
  • Merasakan (Sensing) – mengumpulkan umpan balik
  • Bertindak (Taking Action) – menerapkan perubahan
  • Evaluasi (Evaluating) berada di tengah sebagai penghubung semua tahap, memastikan pembelajaran dan adaptasi terus-menerus.

MENGELOLA PERUBAHAN OPERASIONAL MELALUI MANAJEMEN PROYEK

Manajemen proyek memiliki peran dalam menerapkan perubahan operasional. Manajemen proyek melibatkan pencapaian serangkaian tujuan yang telah didefinisikan dengan cermat dalam urutan logis selama jangka waktu tertentu. Beberapa organisasi layanan publik memiliki pendekatan khusus dalam mengelola perubahan operasional.
Proses manajemen proyek:

Gambar The project management process (Doherty dan Horne, 2002: 80)

Tahap 1 : Menentukan Proyek

Tujuan perubahan strategis sering kali luas dan harus dipecah menjadi tujuan SMART (Spesifik, Terukur, Disepakati, Realistis, dan Terjadwal) agar dapat dikelola dengan baik.

Tahap 2: Pengadaan Sumber Daya

Memastikan ketersediaan sumber daya utama: Uang (anggaran, arus kas, dana darurat), Material (bangunan, peralatan), Mesin (komputer, kendaraan), dan Tenaga Kerja (keahlian, pengalaman, motivasi).

Tahap 3 Perencanaan Proyek

Perencanaan detail mengenai tugas, jadwal, standar, ketergantungan antar tugas, dan alokasi sumber daya. Alat seperti diagram Gantt dan Analisis Jalur Kritis (CPA) membantu dalam penjadwalan dan pemantauan kemajuan. Program PERT digunakan untuk memetakan tugas dan memperkirakan durasi.

Tahap 4 Pelaksanaan Proyek

Fokus pada persuasi, delegasi, dan pelatihan. Mekanisme kontrol memastikan tugas berjalan sesuai waktu yang direncanakan. Rapat tinjauan berkala membantu menyelaraskan pemangku kepentingan, mengidentifikasi masalah, dan menerapkan tindakan korektif.

Tahap 5 Evaluasi Proyek

Menilai proyek berdasarkan empat pertanyaan utama: Apa yang berjalan dengan baik? Apa yang tidak berjalan dengan baik? Apa yang dapat dipelajari? Apa yang harus dilakukan secara berbeda di masa mendatang? Mengakui dampak emosional perubahan dalam organisasi.

Dawson menunjukkan bahwa motif pribadi dan profesional memiliki dampak besar terhadap apa yang diubah, kapan perubahan terjadi, dan bagaimana perubahan tersebut terjadi. Hal ini memperkuat pandangan bahwa manajemen perubahan lebih kompleks daripada yang diasumsikan oleh banyak model perubahan sebelumnya.  Pendekatan terapeutik mengakui bahwa mengelola emosi adalah aspek penting dalam manajemen perubahan. pendekatan terapeutik justru bekerja dengan emosi yang muncul selama proses perubahan. Model ini mengasumsikan bahwa perubahan dapat dikelola secara strategis dan terencana, tetapi kenyataannya lebih kompleks daripada sekadar mengikuti daftar aturan. Pada akhirnya, yang benar-benar penting bukanlah daftar langkah-langkahnya,
tetapi isi dari langkah-langkah tersebut dan bagaimana cara menerapkannya secara efektif dalam konteks nyata.

MENGELOLA PERUBAHAN BUDAYA

Perubahan budaya organisasi adalah aspek penting dalam manajemen perubahan, terutama dalam layanan publik. Manajemen perubahan budaya melibatkan aspek formal dan informal dari organisasi, termasuk nilai, norma, keyakinan, serta cara kerja seharihari.

Beberapa pemikir memiliki pandangan berbeda tentang kesulitan perubahan budaya:

·       Brown berpendapat bahwa perubahan budaya dapat dicapai dengan relatif mudah tanpa paksaan.

·       Anthony, sebaliknya, melihat perubahan budaya sebagai proses sulit yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan penguatan berkelanjutan melalui siklus krisis dan pembelajaran.

·       Gagliari mengusulkan proses tiga tahap dalam perubahan nilai organisasi, yang mencerminkan keseimbangan antara perubahan progresif dan kesinambungan nilai-nilai lama.

Buku ini menolak pendekatan "penghancuran budaya" yang dapat merusak aspek positif dalam organisasi. Sebaliknya, perubahan budaya yang bertahap dengan mempertahankan kesinambungan dianggap lebih efektif.

Terhadap model perubahan budaya, Doherty & Horne memperkenalkan model tiga tahap untuk mengelola perubahan budaya dalam organisasi layanan publik, yaitu:

1. Surfacing Cultural Information (Mengungkap Informasi Budaya)

Sebelum melakukan perubahan dalam budaya organisasi, langkah pertama yang penting adalah memahami budaya yang telah ada. Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai, norma, keyakinan, dan asumsi yang dibagikan oleh individu dalam organisasi. Untuk memahami budaya yang sudah ada, metode yang dapat digunakan adalah dengan Survey, Wawancara, dan Lokakarya sehingga manajer dapat mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana budaya organisasi dapat dikembangkan untuk mendukung tujuan strategis.

2. Interpreting Cultural Information (Menafsirkan Informasi Budaya)

Charles Handy membagi budaya organisasi menjadi empat tipe, yang diibaratkan dengan mitologi Yunani untuk memudahkan pemahaman, sebagaimana dijelaskan:

a. Zeusian (Power Culture) – Budaya Kekuasaan

·       Dalam budaya ini, satu orang atau kelompok kecil memegang kendali penuh atas organisasi, mirip dengan dewa Zeus yang memiliki kekuasaan absolut.

·       Keputusan dibuat dengan cepat, tetapi hanya oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan.

·       Cocok untuk organisasi kecil atau perusahaan keluarga.

b. Apollonian (Role Culture) – Budaya Peran dan Hierarki

·       Organisasi berfungsi seperti mesin yang teratur, dengan aturan, prosedur, dan hierarki yang jelas seperti sistem Apollo, dewa keteraturan.

·       Setiap orang memiliki tugas yang jelas dan tetap, dan perubahan sulit terjadi.

·       Cocok untuk pemerintahan, birokrasi, dan institusi besar.

c. Athenian (Task Culture) – Budaya Tugas dan Fleksibilitas

·       Fokus utama budaya ini adalah tugas dan proyek. Organisasi ini bersifat fleksibel dan mampu beradaptasi dengan cepat.

·       Seperti Athena, dewi kebijaksanaan, budaya ini menekankan kreativitas dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.

·       Cocok untuk tim proyek, perusahaan teknologi, atau organisasi yang sering menghadapi perubahan cepat.

d. Dionysian (Person Culture) – Budaya Individual dan Otonomi

·       Fokus utama adalah individu, bukan organisasi. Orang bekerja sesuai keinginan dan kebutuhannya sendiri.

·       Organisasi seperti ini jarang memiliki struktur formal dan lebih bersifat longgar.

·       Cocok untuk profesi yang berpusat pada kreativitas, seperti seniman, penulis, atau konsultan independen.

Sementara itu, Model Parker dan Lorenzini juga digunakan untuk mengategorikan budaya sebagai integratif, beragam, atau terpolarisasi.

a. Budaya Integratif

·       Organisasi memiliki nilai dan visi yang sama di antara semua anggota.

·       Ada kesepahaman yang kuat tentang cara kerja dan tujuan organisasi.

b. Budaya Beragam

·       Organisasi terdiri dari berbagai kelompok dengan budaya yang berbeda, tetapi mereka masih bisa bekerja sama.

c. Budaya Terpolarisasi

·       Organisasi memiliki kelompok-kelompok yang sangat berbeda, sering kali terjadi konflik atau perbedaan pendapat yang besar di antara mereka.

3. Signalling Cultural Change (Menandakan Perubahan Budaya)

Untuk mengubah budaya organisasi, kita perlu melakukan tindakan simbolis dan nyata yang dapat dirasakan oleh semua orang. Tindakan ini bisa berupa:

·       Mengubah cara komunikasi dalam organisasi.

·       Memperkenalkan nilai-nilai baru dalam kebijakan dan prosedur kerja.

·       Menunjukkan komitmen dari pemimpin dalam menjalankan perubahan.

Contoh sederhana dari perubahan budaya adalah ketika sebuah universitas mengubah tanda pintu masuknya dari "Mahasiswa harus masuk melalui pintu belakang" menjadi "Pelanggan harus masuk melalui pintu belakang", yang memicu perubahan lebih luas dalam cara organisasi melihat mahasiswa.

 

 

Kesimpulan

Mengelola perubahan dalam layanan publik membutuhkan strategi yang jelas agar bisa berjalan dengan baik. Ada dua cara utama dalam melakukan perubahan, yaitu terencana (preskriptif) dan berkembang secara alami (emergent). Kedua cara ini tidak harus saling bertentangan, justru bisa dikombinasikan agar perubahan lebih efektif. Perubahan juga perlu dikelola seperti sebuah proyek, yang memiliki tahapan perencanaan hingga evaluasi, dengan bantuan alat seperti Gantt charts, PERT networks, dan critical path analysis untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Namun, perubahan tidak hanya soal perencanaan dan strategi, tetapi juga melibatkan emosi orang-orang dalam organisasi. Banyak orang merasa khawatir atau menolak perubahan, sehingga penting bagi manajer untuk memahami dan mengelola perasaan tersebut agar perubahan dapat diterima dengan lebih baik. Selain itu, budaya organisasi juga sangat berpengaruh karena mencerminkan nilai, kebiasaan, dan cara kerja yang sudah ada. Oleh karena itu, perubahan sebaiknya dilakukan bertahap, dengan tetap menghormati nilai-nilai yang telah ada, sambil menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah simbolisme dalam perubahan budaya. Tindakan kecil seperti mengubah nama departemen atau jabatan, mengganti slogan, atau mengubah tata letak ruang kerja bisa memberikan dampak besar dalam mengarahkan cara berpikir orang-orang dalam organisasi. Dengan strategi yang tepat, pendekatan yang fleksibel, serta pemahaman terhadap aspek emosional dan budaya organisasi, perubahan bisa dilakukan dengan lebih lancar dan menghasilkan hasil yang lebih baik untuk jangka panjang.


Referensi:
Doherty, T. L., & Horne, T. (2002). Managing strategy and change in public services. In Managing public services: Implementing changes (Chapter 3, pp. [64-107]. London and New York: Routledge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar