Rabu, 27 Agustus 2025

 

BOOK REVIEW: HOLISTIC INNOVATION POLICY: THEORETICAL FOUNDATIONS, POLICY PROBLEMS AND INSTRUMENT CHOICES

CHAPTER VI FUNCTIONAL PROCUREMENT AS DEMAND-SIDE INNOVATION POLICY

Susana Borrás & Charles Edquist (2019: 106-130)

Bab ini membahas secara mendalam bagaimana pengadaan publik tidak hanya menjadi sarana pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rutin barang dan jasa, melainkan juga dapat berfungsi sebagai instrumen kebijakan inovasi. Penulis berangkat dari kritik bahwa inovasi selama ini lebih banyak dipandang sebagai hasil dari sisi penawaran (supply-side) seperti riset, pengembangan, dan aktivitas universitas. Sebaliknya, mereka menekankan pentingnya peran sisi permintaan (demand-side), di mana pemerintah sebagai pembeli utama dapat mengarahkan pasar dan menciptakan peluang inovasi melalui kebijakan pengadaan.

Salah satu gagasan inti yang disampaikan adalah konsep pengadaan fungsional. Alih-alih menentukan produk atau teknologi spesifik yang harus dibeli, pemerintah cukup mendefinisikan fungsi, kebutuhan, atau masalah yang ingin diselesaikan. Dengan demikian, pihak penyedia memiliki ruang untuk menawarkan beragam solusi kreatif. Misalnya, alih-alih membeli alat penyaring udara tertentu, pemerintah cukup menetapkan standar kualitas udara yang harus dipenuhi. Pendekatan ini membuat kompetisi lebih terbuka, mendorong lahirnya ide baru, dan memberi kesempatan kepada inovator untuk berkontribusi.

Penulis juga menjelaskan tiga bentuk utama pengadaan yang mendukung inovasi, yakni Direct Innovation Procurement (pemerintah sebagai pembeli dan pengguna inovasi), Catalytic Innovation Procurement (pemerintah sebagai fasilitator bagi pihak ketiga), dan Functional Procurement (pemerintah berfokus pada fungsi yang harus dicapai). Dari ketiganya, pengadaan fungsional dipandang sebagai cara paling efektif karena langsung memicu kompetisi inovasi di kalangan penyedia barang dan jasa.

Meskipun potensial, pengadaan fungsional tidak lepas dari berbagai hambatan. Penulis mengidentifikasi sejumlah kendala seperti keterbatasan kapasitas lembaga publik dalam merumuskan kebutuhan secara fungsional, risiko kegagalan inovasi, regulasi pengadaan yang ketat, serta kesulitan mengidentifikasi kebutuhan masyarakat jangka panjang. Untuk memperkuat argumentasi, mereka menampilkan studi kasus Swedia. Pemerintah Swedia, melalui National Innovation Council, menjadikan pengadaan fungsional sebagai strategi utama dalam mendorong inovasi di sektor kesehatan, transportasi, dan energi. Studi kasus ini menunjukkan bagaimana kebijakan yang tepat dapat meningkatkan kreativitas pemasok, memperluas persaingan pasar, dan menghasilkan solusi yang lebih relevan bagi masyarakat.

Kekuatan utama dari buku ini terletak pada keberhasilannya menggabungkan kerangka teoretis dengan contoh praktis. Konsep yang ditawarkan segar, karena menempatkan pengadaan publik bukan hanya sebagai prosedur administratif, melainkan sebagai alat strategis untuk menciptakan inovasi. Selain itu, penggunaan studi kasus Swedia memperlihatkan bahwa ide ini bukan sekadar teori, melainkan telah diuji dalam kebijakan nyata dengan hasil yang menjanjikan. Manfaat yang ditawarkan pun luas, tidak hanya terbatas pada inovasi teknologi, tetapi juga menyentuh penyelesaian masalah sosial dan lingkungan.

Bab ini sangat relevan dan memberikan banyak pelajaran berharga. Bagi pemerintah, buku ini menjadi panduan bagaimana belanja publik dapat diarahkan untuk menghasilkan solusi inovatif, bukan sekadar memenuhi kebutuhan administratif. Bagi dunia usaha, pengadaan fungsional membuka peluang kompetisi berbasis kreativitas, bukan hanya harga. Bagi akademisi, buku ini memperkaya literatur tentang kebijakan inovasi dengan perspektif sisi permintaan. Sedangkan bagi masyarakat, implikasinya adalah hadirnya layanan publik yang lebih sesuai kebutuhan nyata dan lebih efisien.

Secara keseluruhan, bab ini menegaskan bahwa pengadaan fungsional adalah instrumen kebijakan inovasi yang kuat dan efektif. Dengan mengubah paradigma pengadaan dari membeli produk ke memecahkan masalah, pemerintah dapat menciptakan pasar yang mendorong lahirnya inovasi sekaligus menyelesaikan tantangan sosial-ekonomi. Buku ini patut dibaca oleh pembuat kebijakan, praktisi pengadaan, akademisi, dan pelaku usaha, terutama di negara berkembang yang ingin memanfaatkan belanja publik sebagai motor inovasi.

Analisis Kritis: Peluang & Tantangan Penerapan Pengadaan Fungsional di Indonesia

Salah satu peluang penting penerapan pengadaan fungsional di Indonesia terletak pada agenda reformasi birokrasi dan digitalisasi. Pemerintah telah mengembangkan platform e-procurement seperti Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), bahkan Indonesia National Procurement Portal (INAPROC) Katalog Elektronik serta menerapkan berbagai regulasi untuk meningkatkan transparansi dalam proses pengadaan. Kehadiran infrastruktur digital ini dapat menjadi landasan kuat untuk memperkenalkan spesifikasi berbasis fungsi, bukan sekadar spesifikasi merek atau produk tertentu. Dengan demikian, proses lelang dapat lebih terbuka terhadap solusi kreatif dari berbagai penyedia.

Selain reformasi birokrasi dan digitalisasi, peluang besar juga muncul dari tumbuhnya ekosistem startup dan UMKM inovatif di Indonesia. Berdasarkan data Startup Ranking (2025), Indonesia memiliki sekitar 3.180 startup dan menempati posisi kelima dunia. Perusahaan rintisan ini berkembang pesat di sektor-sektor strategis seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lingkungan, serta menawarkan berbagai solusi berbasis teknologi yang adaptif terhadap kebutuhan masyarakat. Di sisi lain berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat sekitar 64,2 juta UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. UMKM juga memainkan peran penting dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama sejak adanya Peraturan Presiden No.12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengatur bahwa kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang wajib mengalokasikan anggaran minimal 40% untuk usaha kecil dan koperasi dari total anggaran belanja barang/jasa. Peraturan ini juga meningkatkan nilai transaksi pengadaan yang dapat diikuti UMKM hingga Rp15 miliar. Keterlibatan ini tidak hanya ditujukan untuk menciptakan ekonomi yang inklusif dan memperluas akses pasar, tetapi juga untuk memperkuat produk dalam negeri, meningkatkan stabilitas usaha, serta menambah kredibilitas UMKM sebagai mitra pemerintah.

Peran penting UMKM dapat menjadi nadi sekaligus katalis pembangunan nasional. Kepala LKPP Hendar Prihadi dalam Siaran Pers Nomor: 01/SP-Ses.3/01/2025 menjelaskan bahwa “belanja pemerintah Tahun Anggaran (TA) 2024 mencapai Rp1.259,2 triliun atau setara 108,41 persen dari total belanja PBJ. Kontribusi realisasi anggaran PBJ terhadap Produk Dalam Negeri (PDN) mencapai Rp595,66 triliun atau sebesar 90 persen, dan kontribusi PBJ terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKK) mencapai Rp277,42 triliun atau 41,9 persen”. Angka ini mencerminkan komitmen kuat pemerintah dalam mendukung pengembangan UMKM sekaligus memperbesar peluang inovasi lokal.

Peluang berikutnya adalah dukungan politik dan regulasi yang sudah mulai terbentuk. Konsep value for money dalam Perpres Pengadaan Barang/Jasa memberi ruang bagi pemerintah untuk tidak hanya berfokus pada harga terendah, tetapi juga pada kualitas, manfaat, dan keberlanjutan dari barang/jasa yang dibeli. Jika kebijakan ini diarahkan lebih spesifik untuk mengakomodasi functional procurement, maka Indonesia akan memiliki instrumen yang kuat untuk memperkuat kebijakan inovasi nasional. Hal ini tidak hanya akan memperbaiki efektivitas belanja publik, tetapi juga mendorong terciptanya pasar inovasi domestik yang lebih dinamis.

Meskipun terdapat peluang besar melalui reformasi birokrasi, digitalisasi, serta dukungan regulasi, penerapan pengadaan fungsional di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang cukup serius. Salah satunya adalah budaya pengadaan yang masih sangat produk-sentris. Praktik pengadaan selama ini lebih sering diarahkan pada pembelian barang atau jasa yang spesifik, aman, dan sudah familiar di kalangan pejabat pengadaan. Karena adanya kecenderungan menghindari risiko, banyak pejabat lebih memilih penyedia lama atau produk standar yang dianggap lebih mudah dipertanggungjawabkan. Hal ini bertolak belakang dengan peluang yang ditawarkan oleh sistem e-procurement dan prinsip value for money, yang seharusnya dapat membuka jalan bagi spesifikasi berbasis fungsi dan inovasi.

Tantangan berikutnya adalah lebih dari separuh transaksi pengadaan belum tercatat dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), sehingga banyak peluang belum dimanfaatkan, terutama dalam skema swakelola dan pengadaan langsung. Memang, 87 persen UMKM sudah terdaftar di e-katalog, tetapi sebagian besar produk mereka belum berhasil terjual (MenpanRB, 2023). Dalam konteks ini, penerapan mekanisme pengadaan fungsional dapat memberikan jalan keluar. Dengan menekankan kualitas solusi dan fungsi yang dihasilkan, bukan semata harga, startup dan UMKM inovatif dapat masuk ke pasar pemerintah secara lebih adil. Hal ini bukan hanya memperluas peluang bisnis mereka, tetapi juga memastikan bahwa pengadaan publik benar-benar menjadi motor inovasi, katalis pembangunan nasional, sekaligus sarana pemberdayaan ekonomi inklusif di Indonesia.

Tantangan lain adalah keterbatasan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia dalam pengadaan. Merumuskan spesifikasi fungsional membutuhkan keahlian lintas bidang teknis, hukum, dan inovasi sementara saat ini SDM pengadaan di Indonesia masih didominasi keterampilan administratif. Akibatnya, meskipun ekosistem startup dan UMKM inovatif sedang tumbuh pesat, banyak potensi solusi yang akhirnya tidak bisa masuk ke pasar pemerintah karena tidak difasilitasi dengan mekanisme pengadaan yang sesuai.

 

Referensi:

Borrás, S., & Edquist, C. (2019). Functional procurement as demand-side innovation policy. In J. Edler, P. Cunningham, A. Gök, & P. Shapira (Eds.), Handbook of innovation policy impact (pp. 106–130). Edward Elgar Publishing. https://doi.org/10.4337/9781784711856

MenpanRB. (2023). Belanja barang dan jasa pemerintah ke UMKM jadi katalis pembangunan. InfoPublik. https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/belanja-barang-dan-jasa-pemerintah-ke-umkm-jadi-katalis-pembangunan

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. (2025). Era baru pengadaan barang/jasa pemerintah dengan Katalog Elektronik V6 (Siaran Pers No. 01/SP-Ses.3/01/2025). LKPP. https://www.lkpp.go.id/read/bu/era-baru-pengadaan-barang-jasa-pemerintah-dengan-katalog-elektronik-v6

Peraturan Presiden No.12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
StartupRanking. (2025). Global Startup Rankings by country. StartupRanking. Retrieved from https://www.startupranking.com/countries

 

Selasa, 15 April 2025

BOOK REVIEW: MANAGING PUBLIC SERVICES: IMPLEMENTING CHANGES OLEH: TONY L. DOHERTY & TERRY HORNE ) : CHAPTER III MANAGING STRATEGY AND CHANGE IN PUBLIC SERVICES


Pada Bab III Doherty dan Horne (2002) membahas terkait strategi dalam mengimplemetasikan perubahan serta tantangan yang menyertainya dalam pelayanan publik. Strategi dan implementasi strategi merupakan kunci keberhasilan perubahan. Dhorety menjelaskan strategi sebagai “identifying the aim of an organizationan and the specific actions that need to be taken in order to relaize it” sedangkan Jhonson dan Scholes menjelaskan “strategy is that which describes how an organization will match its resources to its environment so as to meet the expectations of its stakeholders”. Lebih lanjut Doherty juga menjelaskan terkait tujuan strategi (hasil akhir yang ingin dicapai), sasaran strategis (langkah-langkah untuk mencapai tujuan strategis),  serta rencana strategis (rencana yang menghubungkan tujuan, sasaran, dan taktik).Konsep manajemen strategis membawa serta asumsi tentang hak dan wewenang manajer, pandangan mengenai bagaimana organisasi harus disusun dan untuk kepentingan siapa, serta pendapat tentang jenis orang yang seharusnya dipekerjakan dan bagaimana dan bagaimana keputusan harus diambil.

Manajemen Strategis memiliki beberapa manfaat, antara lain:

  1. Holistik: Keputusan hanya diambil dengan mempertimbangkan informasi lengkap tentang dampaknya terhadap seluruh organisasi.
  2. Jangka Panjang: Menghindari pendekatan jangka pendek, yaitu pengambilan keputusan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
  3. Koordinasi: Selalu menjadi tantangan untuk mengoordinasikan departemen, unit, dan lembaga lainnya.
  4. Kesiapan: Perumusan strategi mendorong pemikiran empatik dan prediktif terhadap ancaman bagi kelompok klien dan sumber daya, serta mendorong perencanaan kontinjensi.
  5. Evaluasi: Memudahkan dalam menetapkan kriteria untuk mengukur kinerja.
  6. Kreativitas: Spekulasi tentang masa depan mendorong penggunaan imajinasi dan dapat menghasilkan pemikiran kreatif mengenai layanan atau metode penyampaian yang baru.

 

Namun dalam praktiknya, manajemen strategis juga harus menghadapi masalah-masalah, antara lain:

  • Ketergantungan pada Tren dan Informasi: Keberhasilan organisasi bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi mengantisipasi perubahan mendadak. Strategi hanya sebaik informasi yang digunakan; jika lingkungan tidak stabil, keakuratan informasi dipertanyakan.
  • Biaya Tinggi dan Manfaat yang Sulit Diukur: Manajemen strategis memerlukan investasi besar, tetapi manfaatnya sulit dibuktikan. Sulit menentukan ukuran kinerja yang tepat.
  • Ketidakakuratan Laporan Kinerja: Laporan tahunan sering kali lebih mencerminkan hubungan masyarakat daripada kinerja nyata. Kinerja baik belum tentu karena strategi yang diterapkan, begitu pula kinerja buruk belum tentu akibat strategi yang salah.
  • Kurangnya Fleksibilitas dalam Situasi Darurat: Strategi yang sudah dirancang dapat menjadi hambatan dalam menghadapi peristiwa tak terduga seperti bencana alam, perang, atau krisis ekonomi.
  • Kebutuhan akan Adaptasi Cepat: Organisasi yang mampu beradaptasi dengan cepat, belajar dari kesalahan, dan segera mengubah kebijakan yang tidak efektif memiliki peluang bertahan lebih tinggi. Fleksibilitas dalam mengubah struktur organisasi, prosedur, layanan, dan mitra kerja menjadi faktor kunci keberhasilan.
  • Kontradiksi antara Strategi dan Pragmatisme: Dalam kondisi tertentu, prinsip dan nilai dapat diabaikan demi kepraktisan dan kelangsungan organisasi. Pragmatism dan adaptasi cepat lebih diutamakan dibanding kepatuhan ketat terhadap strategi yang telah dirancang sebelumnya.

Evaluasi manajemen strategis tidak hanya bergantung pada hasil akhir, karena keberhasilan bisa terjadi karena keberuntungan, sementara kegagalan tidak selalu menunjukkan strategi yang buruk. Terdapat dua pendekatan dalam menilai startegi. Pertama, strategic fit, yaitu kesesuaian antara tujuan organisasi dengan sumber daya internalnya. Untuk mencapai strategic fit, organisasi mungkin perlu menutup atau mengubah fungsi departemen dan melatih ulang tenaga kerja. Kedua, strategic capability, yaitu kemampuan untuk menjalankan strategi dengan efektif. Jika lingkungan stabil, strategi dapat dirancang dengan jelas dan mengikuti prinsip SMART (Spesifik, Terukur, Disepakati, Realistis, dan Terjadwal). Namun, dalam lingkungan yang tidak stabil, pendekatan yang lebih fleksibel diperlukan, seperti menggunakan "peta" strategi yang memungkinkan adaptasi terhadap perubahan. Sejarah menunjukkan bahwa strategi tidak selalu berhasil, terutama karena faktor teknologi dan moral tenaga kerja. Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah melakukan perubahan dan penyesuaian strategi secara berkala untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas organisasi.

PERUBAHAN STRATEGIS DALAM LAYANAN PUBLIK

Organisasi publik bertujuan untuk mengatasi kegagalan pasar dan menanggapi kebutuhan masyarakat melalui proses politik. Untuk mengelola perubahan strategis dalam layanan publik, penting untuk memahami pemangku kepentingan yang terlibat, meliputi pengguna layanan, pembayar pajak, auditor publik, badan pengawas dan kelompok kepentingan swasta. Perubahan strategis dalam layanan publik harus melibatkan partisipasi mayarakat, karena masyarakat merupakan pengguna layanan publik. Metode, yang umum digunakan dalam menganalisis lingkungan eksternal layanan publik adalah:

1.     PEST Analysis: Menganalisis faktor Politik, Ekonomi, Sosial, dan Teknologi.

2.     TEMPLES Analysis: Lebih luas dari PEST, mencakup Teknologi, Ekonomi, Pasar, Politik, Legal, Etika, dan Sosial.

3.     SWOT Analysis: Mengidentifikasi Kekuatan (Strengths), Kelemahan (Weaknesses), Peluang (Opportunities), dan Ancaman (Threats).

Integrasi SWOT dengan TEMPLES dapat membantu dalam mengidentifikasi ancaman dan peluang di setiap aspek strategis. Analisis ini memberikan dasar untuk keputusan strategis yang lebih adaptif dalam menghadapi tantangan layanan publik yang terus berkembang.

PENDEKATAN DALAM MANAJEMEN STRATEGIS

Terdapat dua pendekatan dalam manajemen strategis yaitu Perskriptif (Ansoff) atau emergen (Mintzberg).

PENDEKATAN PERSKRIPTIF

Disebut demikian karena pendekatan ini berasumsi bahwa cara mengelola perubahan dapat ditentukan melalui proses logis yang melibatkan penetapan tujuan dan sasaran secara berurutan serta merinci langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakannya. Pendekatan perskriptif berkembang sejak 1980-an dan sering disebut sebagai teori keuanggulan. Pendekatan ini lebih sesuai dalam lingkungan stabil dan dapat diprediksi. Pendekatan ini berfokus pada perencanaan yang jelas dan perubahan struktural sebagai pendorong utama transformasi organisasi.

Karakteristik Pendekatan Preskriptif dalam Mengelola Perubahan

1.     Struktur yang lebih sederhana lebih disukai.

2.     Perbedaan pendapat dan tantangan tidak boleh dihindari.

3.     Banyak aspek harus dikelola secara bersamaan.

4.     Diperlukan perubahan dalam tenaga kerja dan struktur organisasi.

Model yang terkenal adalah McKinsey 7S, yang mengidentifikasi tujuh elemen penting dalam perubahan organisasi antara lain:

1.     Structure: struktur organisasi

2.     Strategy: arah umum yang dipilih oleh organisasi

3.     System: Prosedur yang memungkinkan organisasi berfungsi

4.     Style: Pendekatan yang diambil oleh organisasi dan para pemimpinnya

5.     Staff: karyawan serta kebutuhan mereka dalam pengembangan dan motivasi

6.     Skills: kompetensi yang dibutuhkan dalam organisasi

7.     Superordinate Goals: mengekspresikan nilai dan visi organisasi

Namun, model ini tidak secara mendalam menjelaskan hubungan antar elemen. Beberapa ahli mengusulkan penambahan elemen kedelapan, yaitu S untuk Synergy, yang menekankan bagaimana elemen-elemen tersebut bekerja secara terpadu.

PENDEKATAN EMERGEN

Pendekatan emergent beranggapan bahwa perubahan dalam organisasi tidak bisa direncanakan secara kaku atau jangka panjang, karena lingkungan organisasi selalu berubah secara dinamis. Banyak faktor eksternal dan internal yang memengaruhi organisasi  yang sulit diprediksi secara pasti. Pendekatan emergen menekankan dimensi politik dan budaya dalam perubahan serta berargumen bahwa keseluruhan proses perubahan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan logika linear yang rasional. Dimensi rasional dari perubahan tidak diabaikan, tetapi dianggap saling berkaitan dengan proses budaya dan politik yang melibatkan pihak yang terdampak maupun yang diuntungkan oleh perubahan tersebut.

Menurut Pettigrew, setiap keputusan perubahan melibatkan tiga elemen yang terus berinteraksi satu sama lain, yaitu:

  • Konteks: Mengacu pada lingkungan, yaitu mengapa perubahan ini diperlukan?
  • Konten: Menjawab pertanyaan, tindakan apa yang harus dilakukan?
  • Proses: Menjelaskan bagaimana tindakan tersebut akan diimplementasikan?

Perbedaan Pendekatan Preskriptif dan Pendekatan Emergent dalam manajemen perubahan

Aspek

Pendekatan Preskriptif

Pendekatan Emergent

Definisi

Pendekatan yang merancang perubahan secara sistematis dengan tujuan yang jelas dan langkah-langkah yang berurutan.

Pendekatan yang menyesuaikan perubahan dengan kondisi lingkungan yang dinamis melalui eksperimen dan adaptasi.

Karakteristik

- Berbasis rencana jangka panjang.- Perubahan terjadi secara berurutan dan terstruktur.- Menggunakan strategi yang ditetapkan sebelumnya.- Memiliki kontrol ketat terhadap implementasi perubahan.

- Fleksibel dan adaptif terhadap kondisi.- Tidak selalu mengikuti rencana yang sudah ditetapkan.- Perubahan terjadi secara bertahap dan iteratif.- Fokus pada pembelajaran dari pengalaman.

Fokus Utama

Mengontrol proses perubahan untuk mencapai hasil yang sudah ditentukan sebelumnya.

Mengakomodasi perubahan yang terjadi secara alami dalam organisasi dan lingkungan eksternal.

Kelebihan

- Memiliki arah yang jelas.- Mempermudah koordinasi antar bagian organisasi.- Memberikan kepastian dalam pengambilan keputusan.

- Lebih responsif terhadap perubahan lingkungan.- Meningkatkan inovasi karena bersifat eksperimental.- Lebih realistis dalam menghadapi ketidakpastian.

Kekurangan

- Kurang fleksibel terhadap perubahan tak terduga.- Bisa gagal jika lingkungan berubah drastis.- Membutuhkan waktu lama untuk menyesuaikan perubahan baru.

- Tidak selalu memiliki arah yang jelas.- Sulit untuk dikelola dalam organisasi besar.- Berisiko terjadi inefisiensi dalam implementasi.

Contoh dalam Pelayanan Publik

Reformasi Birokrasi: Pemerintah menetapkan program reformasi birokrasi dengan tahapan yang jelas, seperti penyederhanaan regulasi, peningkatan transparansi, dan digitalisasi layanan publik yang dirancang secara sistematis.

Program Kota Pintar (Smart City): Pemerintah daerah menyesuaikan teknologi dan kebijakan layanan publik berdasarkan kebutuhan warga yang terus berubah, misalnya dengan mengembangkan aplikasi layanan masyarakat yang berkembang secara bertahap sesuai dengan umpan balik pengguna.

 

Mintzberg menggambarkan sifat saling melengkapi antara pendekatan emergen dan preskriptif dalam konsep "merancang perubahan". Konsep ini menekankan bahwa strategi dapat berkembang secara spontan melalui pembelajaran dan adaptasi terhadap lingkungan, selain dari strategi yang telah direncanakan sebelumnya. Mintzberg menyarankan sebuah proses dialogis sebagai cara untuk mencapai integrasi kedua pendekatan tersebut. Penerapan perubahan dalam layanan publik rumit karena adanya agenda pribadi dan konflik kepentingan di antara para manajer dan profesional yang terlibat.

Mengelola perubahan melibatkan berpindah antara pemikiran dalam dunia internal dan percakapan dalam dunia eksternal.

  • Keterampilan utama dalam dunia internal: Keterampilan berpikir
  • Keterampilan utama dalam dunia eksternal: Keterampilan percakapan

Pendekatan percakapan untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan, seperti persuasi, delegasi, dan konseling. Percakapan awal melibatkan pengumpulan informasi, memahami sudut pandang orang lain secara empatik, dan berpikir bersama tentang solusi yang memungkinkan.

Beberapa kategori pertanyaan yang berguna dalam proses ini adalah:

1.     Mengelola Motif Perubahan

2.     Mendeteksi dan Menyelidiki (Memahami perspektif pemangku kepentingan dan memetakan kekuatan yang mendukung atau menentang perubahan)

3.     Mempersiapkan Dasar Perubahan (Membayangkan perubahan sudah diterapkan dan mengevaluasi dampaknya)

4.     Mencari Sekutu (Mengidentifikasi individu atau kelompok yang akan mendukung perubahan)

5.     Mengelola Pihak Luar (Pemangku kepentingan eksternal dapat mempengaruhi keberhasilan perubahan)

6.     Mengelola Pihak Dalam (Mengatasi kekhawatiran karyawan terkait status, keamanan, atau kualitas hidup kerja.)

7.     Mengelola Atasan (Keterlibatan atasan sangat penting untuk kesuksesan perubahan.)

8.     Mengelola Hasil (Menentukan standar keberhasilan dan bagaimana menilai pencapaian)

9.     Langkah Awal Perubahan (Strategi awal harus mengumpulkan informasi tanpa terlalu banyak mengungkapkan rencana)

10. Langkah Akhir Perubahan (Rencana cadangan diperlukan jika perubahan menghadapi kegagalan)

 

Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, pemikiran menjadi lebih personal, empatik, dan politis. Yang pertama dan utama adalah memahami kepentingan mereka—yaitu menemukan dan mengelola motif perubahan.

Gambar: A conversational approach to managing change (Doherty dan Horne, 2002: 74)


Gambar tersebut menggambarkan Pendekatan Percakapan dalam Mengelola Perubahan, yang menunjukkan interaksi antara Pemikiran Dunia Batin (Inner World Thinking) dan Percakapan Dunia Luar (Outer World Conversations) dalam proses manajemen perubahan. Gambar tersebut menyoroti empat tahap utama yang menghubungkan pemikiran dan percakapan:

  • Memahami (Making Sense) – menganalisis situasi
  • Merumuskan (Formulating) – mengembangkan strategi
  • Merasakan (Sensing) – mengumpulkan umpan balik
  • Bertindak (Taking Action) – menerapkan perubahan
  • Evaluasi (Evaluating) berada di tengah sebagai penghubung semua tahap, memastikan pembelajaran dan adaptasi terus-menerus.

MENGELOLA PERUBAHAN OPERASIONAL MELALUI MANAJEMEN PROYEK

Manajemen proyek memiliki peran dalam menerapkan perubahan operasional. Manajemen proyek melibatkan pencapaian serangkaian tujuan yang telah didefinisikan dengan cermat dalam urutan logis selama jangka waktu tertentu. Beberapa organisasi layanan publik memiliki pendekatan khusus dalam mengelola perubahan operasional.
Proses manajemen proyek:

Gambar The project management process (Doherty dan Horne, 2002: 80)

Tahap 1 : Menentukan Proyek

Tujuan perubahan strategis sering kali luas dan harus dipecah menjadi tujuan SMART (Spesifik, Terukur, Disepakati, Realistis, dan Terjadwal) agar dapat dikelola dengan baik.

Tahap 2: Pengadaan Sumber Daya

Memastikan ketersediaan sumber daya utama: Uang (anggaran, arus kas, dana darurat), Material (bangunan, peralatan), Mesin (komputer, kendaraan), dan Tenaga Kerja (keahlian, pengalaman, motivasi).

Tahap 3 Perencanaan Proyek

Perencanaan detail mengenai tugas, jadwal, standar, ketergantungan antar tugas, dan alokasi sumber daya. Alat seperti diagram Gantt dan Analisis Jalur Kritis (CPA) membantu dalam penjadwalan dan pemantauan kemajuan. Program PERT digunakan untuk memetakan tugas dan memperkirakan durasi.

Tahap 4 Pelaksanaan Proyek

Fokus pada persuasi, delegasi, dan pelatihan. Mekanisme kontrol memastikan tugas berjalan sesuai waktu yang direncanakan. Rapat tinjauan berkala membantu menyelaraskan pemangku kepentingan, mengidentifikasi masalah, dan menerapkan tindakan korektif.

Tahap 5 Evaluasi Proyek

Menilai proyek berdasarkan empat pertanyaan utama: Apa yang berjalan dengan baik? Apa yang tidak berjalan dengan baik? Apa yang dapat dipelajari? Apa yang harus dilakukan secara berbeda di masa mendatang? Mengakui dampak emosional perubahan dalam organisasi.

Dawson menunjukkan bahwa motif pribadi dan profesional memiliki dampak besar terhadap apa yang diubah, kapan perubahan terjadi, dan bagaimana perubahan tersebut terjadi. Hal ini memperkuat pandangan bahwa manajemen perubahan lebih kompleks daripada yang diasumsikan oleh banyak model perubahan sebelumnya.  Pendekatan terapeutik mengakui bahwa mengelola emosi adalah aspek penting dalam manajemen perubahan. pendekatan terapeutik justru bekerja dengan emosi yang muncul selama proses perubahan. Model ini mengasumsikan bahwa perubahan dapat dikelola secara strategis dan terencana, tetapi kenyataannya lebih kompleks daripada sekadar mengikuti daftar aturan. Pada akhirnya, yang benar-benar penting bukanlah daftar langkah-langkahnya,
tetapi isi dari langkah-langkah tersebut dan bagaimana cara menerapkannya secara efektif dalam konteks nyata.

MENGELOLA PERUBAHAN BUDAYA

Perubahan budaya organisasi adalah aspek penting dalam manajemen perubahan, terutama dalam layanan publik. Manajemen perubahan budaya melibatkan aspek formal dan informal dari organisasi, termasuk nilai, norma, keyakinan, serta cara kerja seharihari.

Beberapa pemikir memiliki pandangan berbeda tentang kesulitan perubahan budaya:

·       Brown berpendapat bahwa perubahan budaya dapat dicapai dengan relatif mudah tanpa paksaan.

·       Anthony, sebaliknya, melihat perubahan budaya sebagai proses sulit yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan penguatan berkelanjutan melalui siklus krisis dan pembelajaran.

·       Gagliari mengusulkan proses tiga tahap dalam perubahan nilai organisasi, yang mencerminkan keseimbangan antara perubahan progresif dan kesinambungan nilai-nilai lama.

Buku ini menolak pendekatan "penghancuran budaya" yang dapat merusak aspek positif dalam organisasi. Sebaliknya, perubahan budaya yang bertahap dengan mempertahankan kesinambungan dianggap lebih efektif.

Terhadap model perubahan budaya, Doherty & Horne memperkenalkan model tiga tahap untuk mengelola perubahan budaya dalam organisasi layanan publik, yaitu:

1. Surfacing Cultural Information (Mengungkap Informasi Budaya)

Sebelum melakukan perubahan dalam budaya organisasi, langkah pertama yang penting adalah memahami budaya yang telah ada. Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai, norma, keyakinan, dan asumsi yang dibagikan oleh individu dalam organisasi. Untuk memahami budaya yang sudah ada, metode yang dapat digunakan adalah dengan Survey, Wawancara, dan Lokakarya sehingga manajer dapat mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana budaya organisasi dapat dikembangkan untuk mendukung tujuan strategis.

2. Interpreting Cultural Information (Menafsirkan Informasi Budaya)

Charles Handy membagi budaya organisasi menjadi empat tipe, yang diibaratkan dengan mitologi Yunani untuk memudahkan pemahaman, sebagaimana dijelaskan:

a. Zeusian (Power Culture) – Budaya Kekuasaan

·       Dalam budaya ini, satu orang atau kelompok kecil memegang kendali penuh atas organisasi, mirip dengan dewa Zeus yang memiliki kekuasaan absolut.

·       Keputusan dibuat dengan cepat, tetapi hanya oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan.

·       Cocok untuk organisasi kecil atau perusahaan keluarga.

b. Apollonian (Role Culture) – Budaya Peran dan Hierarki

·       Organisasi berfungsi seperti mesin yang teratur, dengan aturan, prosedur, dan hierarki yang jelas seperti sistem Apollo, dewa keteraturan.

·       Setiap orang memiliki tugas yang jelas dan tetap, dan perubahan sulit terjadi.

·       Cocok untuk pemerintahan, birokrasi, dan institusi besar.

c. Athenian (Task Culture) – Budaya Tugas dan Fleksibilitas

·       Fokus utama budaya ini adalah tugas dan proyek. Organisasi ini bersifat fleksibel dan mampu beradaptasi dengan cepat.

·       Seperti Athena, dewi kebijaksanaan, budaya ini menekankan kreativitas dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.

·       Cocok untuk tim proyek, perusahaan teknologi, atau organisasi yang sering menghadapi perubahan cepat.

d. Dionysian (Person Culture) – Budaya Individual dan Otonomi

·       Fokus utama adalah individu, bukan organisasi. Orang bekerja sesuai keinginan dan kebutuhannya sendiri.

·       Organisasi seperti ini jarang memiliki struktur formal dan lebih bersifat longgar.

·       Cocok untuk profesi yang berpusat pada kreativitas, seperti seniman, penulis, atau konsultan independen.

Sementara itu, Model Parker dan Lorenzini juga digunakan untuk mengategorikan budaya sebagai integratif, beragam, atau terpolarisasi.

a. Budaya Integratif

·       Organisasi memiliki nilai dan visi yang sama di antara semua anggota.

·       Ada kesepahaman yang kuat tentang cara kerja dan tujuan organisasi.

b. Budaya Beragam

·       Organisasi terdiri dari berbagai kelompok dengan budaya yang berbeda, tetapi mereka masih bisa bekerja sama.

c. Budaya Terpolarisasi

·       Organisasi memiliki kelompok-kelompok yang sangat berbeda, sering kali terjadi konflik atau perbedaan pendapat yang besar di antara mereka.

3. Signalling Cultural Change (Menandakan Perubahan Budaya)

Untuk mengubah budaya organisasi, kita perlu melakukan tindakan simbolis dan nyata yang dapat dirasakan oleh semua orang. Tindakan ini bisa berupa:

·       Mengubah cara komunikasi dalam organisasi.

·       Memperkenalkan nilai-nilai baru dalam kebijakan dan prosedur kerja.

·       Menunjukkan komitmen dari pemimpin dalam menjalankan perubahan.

Contoh sederhana dari perubahan budaya adalah ketika sebuah universitas mengubah tanda pintu masuknya dari "Mahasiswa harus masuk melalui pintu belakang" menjadi "Pelanggan harus masuk melalui pintu belakang", yang memicu perubahan lebih luas dalam cara organisasi melihat mahasiswa.

 

 

Kesimpulan

Mengelola perubahan dalam layanan publik membutuhkan strategi yang jelas agar bisa berjalan dengan baik. Ada dua cara utama dalam melakukan perubahan, yaitu terencana (preskriptif) dan berkembang secara alami (emergent). Kedua cara ini tidak harus saling bertentangan, justru bisa dikombinasikan agar perubahan lebih efektif. Perubahan juga perlu dikelola seperti sebuah proyek, yang memiliki tahapan perencanaan hingga evaluasi, dengan bantuan alat seperti Gantt charts, PERT networks, dan critical path analysis untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Namun, perubahan tidak hanya soal perencanaan dan strategi, tetapi juga melibatkan emosi orang-orang dalam organisasi. Banyak orang merasa khawatir atau menolak perubahan, sehingga penting bagi manajer untuk memahami dan mengelola perasaan tersebut agar perubahan dapat diterima dengan lebih baik. Selain itu, budaya organisasi juga sangat berpengaruh karena mencerminkan nilai, kebiasaan, dan cara kerja yang sudah ada. Oleh karena itu, perubahan sebaiknya dilakukan bertahap, dengan tetap menghormati nilai-nilai yang telah ada, sambil menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah simbolisme dalam perubahan budaya. Tindakan kecil seperti mengubah nama departemen atau jabatan, mengganti slogan, atau mengubah tata letak ruang kerja bisa memberikan dampak besar dalam mengarahkan cara berpikir orang-orang dalam organisasi. Dengan strategi yang tepat, pendekatan yang fleksibel, serta pemahaman terhadap aspek emosional dan budaya organisasi, perubahan bisa dilakukan dengan lebih lancar dan menghasilkan hasil yang lebih baik untuk jangka panjang.


Referensi:
Doherty, T. L., & Horne, T. (2002). Managing strategy and change in public services. In Managing public services: Implementing changes (Chapter 3, pp. [64-107]. London and New York: Routledge.