Pada Bab III Doherty dan Horne
(2002) membahas terkait strategi dalam mengimplemetasikan perubahan serta
tantangan yang menyertainya dalam pelayanan publik. Strategi dan implementasi
strategi merupakan kunci keberhasilan perubahan. Dhorety menjelaskan strategi
sebagai “identifying the aim of an organizationan and the specific actions
that need to be taken in order to relaize it” sedangkan Jhonson dan Scholes
menjelaskan “strategy is that which describes how an organization will match
its resources to its environment so as to meet the expectations of its
stakeholders”. Lebih lanjut Doherty juga menjelaskan terkait tujuan
strategi (hasil akhir yang ingin dicapai), sasaran strategis (langkah-langkah
untuk mencapai tujuan strategis), serta
rencana strategis (rencana yang menghubungkan tujuan, sasaran, dan
taktik).Konsep manajemen strategis membawa serta asumsi tentang hak dan
wewenang manajer, pandangan mengenai bagaimana organisasi harus disusun dan
untuk kepentingan siapa, serta pendapat tentang jenis orang yang seharusnya dipekerjakan
dan bagaimana dan bagaimana keputusan harus diambil.
Manajemen Strategis memiliki beberapa manfaat, antara lain:
- Holistik: Keputusan hanya diambil dengan mempertimbangkan informasi lengkap tentang dampaknya terhadap seluruh organisasi.
- Jangka Panjang: Menghindari pendekatan jangka pendek, yaitu pengambilan keputusan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
- Koordinasi: Selalu menjadi tantangan untuk mengoordinasikan departemen, unit, dan lembaga lainnya.
- Kesiapan: Perumusan strategi mendorong pemikiran empatik dan prediktif terhadap ancaman bagi kelompok klien dan sumber daya, serta mendorong perencanaan kontinjensi.
- Evaluasi: Memudahkan dalam menetapkan kriteria untuk mengukur kinerja.
- Kreativitas: Spekulasi tentang masa depan mendorong penggunaan imajinasi dan dapat menghasilkan pemikiran kreatif mengenai layanan atau metode penyampaian yang baru.
Namun dalam praktiknya, manajemen strategis juga harus menghadapi masalah-masalah, antara lain:
- Ketergantungan pada Tren dan Informasi: Keberhasilan organisasi bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi mengantisipasi perubahan mendadak. Strategi hanya sebaik informasi yang digunakan; jika lingkungan tidak stabil, keakuratan informasi dipertanyakan.
- Biaya Tinggi dan Manfaat yang Sulit Diukur: Manajemen strategis memerlukan investasi besar, tetapi manfaatnya sulit dibuktikan. Sulit menentukan ukuran kinerja yang tepat.
- Ketidakakuratan Laporan Kinerja: Laporan tahunan sering kali lebih mencerminkan hubungan masyarakat daripada kinerja nyata. Kinerja baik belum tentu karena strategi yang diterapkan, begitu pula kinerja buruk belum tentu akibat strategi yang salah.
- Kurangnya Fleksibilitas dalam Situasi Darurat: Strategi yang sudah dirancang dapat menjadi hambatan dalam menghadapi peristiwa tak terduga seperti bencana alam, perang, atau krisis ekonomi.
- Kebutuhan akan Adaptasi Cepat: Organisasi yang mampu beradaptasi dengan cepat, belajar dari kesalahan, dan segera mengubah kebijakan yang tidak efektif memiliki peluang bertahan lebih tinggi. Fleksibilitas dalam mengubah struktur organisasi, prosedur, layanan, dan mitra kerja menjadi faktor kunci keberhasilan.
- Kontradiksi antara Strategi dan Pragmatisme: Dalam kondisi tertentu, prinsip dan nilai dapat diabaikan demi kepraktisan dan kelangsungan organisasi. Pragmatism dan adaptasi cepat lebih diutamakan dibanding kepatuhan ketat terhadap strategi yang telah dirancang sebelumnya.
Evaluasi manajemen strategis
tidak hanya bergantung pada hasil akhir, karena keberhasilan bisa terjadi
karena keberuntungan, sementara kegagalan tidak selalu menunjukkan strategi
yang buruk. Terdapat dua pendekatan dalam menilai startegi. Pertama, strategic
fit, yaitu kesesuaian antara tujuan organisasi dengan sumber daya
internalnya. Untuk mencapai strategic fit, organisasi mungkin perlu
menutup atau mengubah fungsi departemen dan melatih ulang tenaga kerja. Kedua,
strategic capability, yaitu kemampuan untuk menjalankan strategi
dengan efektif. Jika lingkungan stabil, strategi dapat dirancang dengan jelas
dan mengikuti prinsip SMART (Spesifik, Terukur, Disepakati, Realistis, dan
Terjadwal). Namun, dalam lingkungan yang tidak stabil, pendekatan yang lebih
fleksibel diperlukan, seperti menggunakan "peta" strategi yang
memungkinkan adaptasi terhadap perubahan. Sejarah menunjukkan bahwa strategi
tidak selalu berhasil, terutama karena faktor teknologi dan moral tenaga kerja.
Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah melakukan perubahan dan penyesuaian
strategi secara berkala untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas
organisasi.
PERUBAHAN STRATEGIS DALAM LAYANAN PUBLIK
Organisasi publik bertujuan
untuk mengatasi kegagalan pasar dan menanggapi kebutuhan masyarakat melalui
proses politik. Untuk mengelola perubahan strategis dalam layanan publik,
penting untuk memahami pemangku kepentingan yang terlibat, meliputi pengguna
layanan, pembayar pajak, auditor publik, badan pengawas dan kelompok
kepentingan swasta. Perubahan strategis dalam layanan publik harus melibatkan
partisipasi mayarakat, karena masyarakat merupakan pengguna layanan publik.
Metode, yang umum digunakan dalam menganalisis lingkungan eksternal layanan
publik adalah:
1. PEST
Analysis: Menganalisis faktor Politik, Ekonomi, Sosial,
dan Teknologi.
2. TEMPLES
Analysis: Lebih luas dari PEST, mencakup Teknologi,
Ekonomi, Pasar, Politik, Legal, Etika, dan Sosial.
3. SWOT
Analysis: Mengidentifikasi Kekuatan (Strengths),
Kelemahan (Weaknesses), Peluang (Opportunities), dan Ancaman (Threats).
Integrasi SWOT dengan TEMPLES dapat membantu
dalam mengidentifikasi ancaman dan peluang di setiap aspek strategis. Analisis
ini memberikan dasar untuk keputusan strategis yang lebih adaptif dalam
menghadapi tantangan layanan publik yang terus berkembang.
PENDEKATAN DALAM MANAJEMEN STRATEGIS
Terdapat dua pendekatan dalam
manajemen strategis yaitu Perskriptif (Ansoff) atau emergen (Mintzberg).
PENDEKATAN PERSKRIPTIF
Disebut demikian karena
pendekatan ini berasumsi bahwa cara mengelola perubahan dapat ditentukan
melalui proses logis yang melibatkan penetapan tujuan dan sasaran secara
berurutan serta merinci langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakannya. Pendekatan
perskriptif berkembang sejak 1980-an dan sering disebut sebagai teori
keuanggulan. Pendekatan ini lebih sesuai dalam lingkungan stabil dan dapat
diprediksi. Pendekatan ini berfokus pada perencanaan yang jelas dan perubahan
struktural sebagai pendorong utama transformasi organisasi.
Karakteristik Pendekatan Preskriptif dalam
Mengelola Perubahan
1. Struktur
yang lebih sederhana lebih disukai.
2. Perbedaan
pendapat dan tantangan tidak boleh dihindari.
3. Banyak
aspek harus dikelola secara bersamaan.
4.
Diperlukan perubahan dalam
tenaga kerja dan struktur organisasi.
Model yang terkenal adalah McKinsey 7S, yang
mengidentifikasi tujuh elemen penting dalam perubahan organisasi antara lain:
1. Structure:
struktur organisasi
2. Strategy:
arah umum yang dipilih oleh organisasi
3. System:
Prosedur yang memungkinkan organisasi berfungsi
4. Style:
Pendekatan yang diambil oleh organisasi dan para pemimpinnya
5. Staff:
karyawan serta kebutuhan mereka dalam pengembangan dan motivasi
6. Skills:
kompetensi yang dibutuhkan dalam organisasi
7.
Superordinate Goals:
mengekspresikan nilai dan visi organisasi
Namun, model ini tidak secara mendalam
menjelaskan hubungan antar elemen. Beberapa ahli mengusulkan penambahan elemen
kedelapan, yaitu S untuk Synergy, yang menekankan bagaimana
elemen-elemen tersebut bekerja secara terpadu.
PENDEKATAN EMERGEN
Pendekatan emergent beranggapan bahwa perubahan
dalam organisasi tidak bisa direncanakan secara kaku atau jangka panjang,
karena lingkungan organisasi selalu berubah secara dinamis. Banyak faktor
eksternal dan internal yang memengaruhi organisasi yang sulit diprediksi secara pasti. Pendekatan
emergen menekankan dimensi politik dan budaya dalam perubahan serta berargumen
bahwa keseluruhan proses perubahan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
logika linear yang rasional. Dimensi rasional dari perubahan tidak diabaikan,
tetapi dianggap saling berkaitan dengan proses budaya dan politik yang
melibatkan pihak yang terdampak maupun yang diuntungkan oleh perubahan
tersebut.
Menurut Pettigrew, setiap keputusan perubahan
melibatkan tiga elemen yang terus berinteraksi satu sama lain, yaitu:
- Konteks:
Mengacu pada lingkungan, yaitu mengapa perubahan ini diperlukan?
- Konten:
Menjawab pertanyaan, tindakan apa yang harus dilakukan?
- Proses:
Menjelaskan bagaimana tindakan tersebut akan diimplementasikan?
Perbedaan
Pendekatan Preskriptif dan Pendekatan Emergent dalam manajemen perubahan
Aspek |
Pendekatan
Preskriptif |
Pendekatan
Emergent |
Definisi |
Pendekatan
yang merancang perubahan secara sistematis dengan tujuan yang jelas dan
langkah-langkah yang berurutan. |
Pendekatan
yang menyesuaikan perubahan dengan kondisi lingkungan yang dinamis melalui
eksperimen dan adaptasi. |
Karakteristik |
-
Berbasis rencana jangka panjang.- Perubahan terjadi secara berurutan dan
terstruktur.- Menggunakan strategi yang ditetapkan sebelumnya.- Memiliki
kontrol ketat terhadap implementasi perubahan. |
-
Fleksibel dan adaptif terhadap kondisi.- Tidak selalu mengikuti rencana yang
sudah ditetapkan.- Perubahan terjadi secara bertahap dan iteratif.- Fokus
pada pembelajaran dari pengalaman. |
Fokus
Utama |
Mengontrol
proses perubahan untuk mencapai hasil yang sudah ditentukan sebelumnya. |
Mengakomodasi
perubahan yang terjadi secara alami dalam organisasi dan lingkungan
eksternal. |
Kelebihan |
-
Memiliki arah yang jelas.- Mempermudah koordinasi antar bagian organisasi.-
Memberikan kepastian dalam pengambilan keputusan. |
-
Lebih responsif terhadap perubahan lingkungan.- Meningkatkan inovasi karena
bersifat eksperimental.- Lebih realistis dalam menghadapi ketidakpastian. |
Kekurangan |
-
Kurang fleksibel terhadap perubahan tak terduga.- Bisa gagal jika lingkungan
berubah drastis.- Membutuhkan waktu lama untuk menyesuaikan perubahan baru. |
-
Tidak selalu memiliki arah yang jelas.- Sulit untuk dikelola dalam organisasi
besar.- Berisiko terjadi inefisiensi dalam implementasi. |
Contoh
dalam Pelayanan Publik |
Reformasi
Birokrasi:
Pemerintah menetapkan program reformasi birokrasi dengan tahapan yang jelas,
seperti penyederhanaan regulasi, peningkatan transparansi, dan digitalisasi
layanan publik yang dirancang secara sistematis. |
Program
Kota Pintar (Smart City): Pemerintah daerah menyesuaikan teknologi dan kebijakan
layanan publik berdasarkan kebutuhan warga yang terus berubah, misalnya
dengan mengembangkan aplikasi layanan masyarakat yang berkembang secara
bertahap sesuai dengan umpan balik pengguna. |
Mintzberg menggambarkan sifat
saling melengkapi antara pendekatan emergen dan preskriptif dalam
konsep "merancang perubahan". Konsep ini menekankan bahwa
strategi dapat berkembang secara spontan melalui pembelajaran dan adaptasi
terhadap lingkungan, selain dari strategi yang telah direncanakan sebelumnya.
Mintzberg menyarankan sebuah proses dialogis sebagai cara untuk
mencapai integrasi kedua pendekatan tersebut. Penerapan perubahan dalam layanan
publik rumit karena adanya agenda pribadi dan konflik
kepentingan di antara para manajer dan profesional yang terlibat.
Mengelola perubahan melibatkan
berpindah antara pemikiran dalam dunia internal dan percakapan dalam dunia
eksternal.
- Keterampilan
utama dalam dunia internal: Keterampilan
berpikir
- Keterampilan
utama dalam dunia eksternal: Keterampilan
percakapan
Pendekatan percakapan untuk mengatasi
resistensi terhadap perubahan, seperti persuasi, delegasi, dan konseling.
Percakapan awal melibatkan pengumpulan informasi, memahami sudut pandang
orang lain secara empatik, dan berpikir bersama tentang solusi yang
memungkinkan.
Beberapa kategori pertanyaan yang berguna dalam
proses ini adalah:
1.
Mengelola Motif Perubahan
2.
Mendeteksi dan Menyelidiki (Memahami
perspektif pemangku kepentingan dan memetakan kekuatan yang mendukung atau
menentang perubahan)
3.
Mempersiapkan Dasar Perubahan (Membayangkan
perubahan sudah diterapkan dan mengevaluasi dampaknya)
4.
Mencari Sekutu (Mengidentifikasi
individu atau kelompok
yang akan mendukung perubahan)
5.
Mengelola Pihak Luar (Pemangku
kepentingan eksternal dapat mempengaruhi keberhasilan perubahan)
6.
Mengelola Pihak Dalam (Mengatasi kekhawatiran karyawan terkait status, keamanan,
atau kualitas hidup kerja.)
7.
Mengelola Atasan (Keterlibatan
atasan sangat penting untuk kesuksesan perubahan.)
8.
Mengelola Hasil (Menentukan
standar keberhasilan dan bagaimana menilai pencapaian)
9.
Langkah Awal Perubahan (Strategi awal
harus mengumpulkan
informasi tanpa terlalu banyak mengungkapkan rencana)
10.
Langkah Akhir Perubahan (Rencana
cadangan diperlukan jika perubahan menghadapi kegagalan)
Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini,
pemikiran menjadi lebih personal, empatik, dan politis. Yang pertama dan
utama adalah memahami kepentingan mereka—yaitu menemukan dan
mengelola motif perubahan.

Gambar tersebut menggambarkan Pendekatan Percakapan
dalam Mengelola Perubahan, yang menunjukkan interaksi antara Pemikiran
Dunia Batin (Inner World Thinking) dan Percakapan Dunia Luar (Outer
World Conversations) dalam proses manajemen perubahan. Gambar tersebut
menyoroti empat tahap utama yang menghubungkan pemikiran dan percakapan:
- Memahami
(Making Sense) – menganalisis situasi
- Merumuskan
(Formulating) – mengembangkan strategi
- Merasakan
(Sensing) – mengumpulkan umpan balik
- Bertindak (Taking Action) – menerapkan perubahan
- Evaluasi (Evaluating) berada di tengah sebagai penghubung semua tahap, memastikan pembelajaran dan adaptasi terus-menerus.
MENGELOLA PERUBAHAN OPERASIONAL MELALUI
MANAJEMEN PROYEK
Manajemen proyek memiliki
peran dalam menerapkan perubahan operasional. Manajemen proyek melibatkan pencapaian
serangkaian tujuan yang telah didefinisikan dengan cermat dalam urutan logis
selama jangka waktu tertentu. Beberapa organisasi layanan publik memiliki
pendekatan khusus dalam mengelola perubahan operasional.
Proses manajemen proyek:

Gambar The project management process (Doherty dan Horne, 2002: 80)
Tahap 1 : Menentukan
Proyek
Tujuan perubahan strategis sering kali luas dan harus
dipecah menjadi tujuan SMART (Spesifik, Terukur, Disepakati, Realistis, dan
Terjadwal) agar dapat dikelola dengan baik.
Tahap 2: Pengadaan
Sumber Daya
Memastikan ketersediaan sumber daya utama: Uang (anggaran,
arus kas, dana darurat), Material (bangunan, peralatan), Mesin (komputer,
kendaraan), dan Tenaga Kerja (keahlian, pengalaman, motivasi).
Tahap 3 Perencanaan Proyek
Perencanaan detail mengenai tugas, jadwal, standar,
ketergantungan antar tugas, dan alokasi sumber daya. Alat seperti diagram Gantt
dan Analisis Jalur Kritis (CPA) membantu dalam penjadwalan dan pemantauan
kemajuan. Program PERT digunakan untuk memetakan tugas dan memperkirakan
durasi.
Tahap 4 Pelaksanaan Proyek
Fokus pada persuasi, delegasi, dan pelatihan. Mekanisme
kontrol memastikan tugas berjalan sesuai waktu yang direncanakan. Rapat
tinjauan berkala membantu menyelaraskan pemangku kepentingan, mengidentifikasi
masalah, dan menerapkan tindakan korektif.
Tahap 5 Evaluasi Proyek
Menilai proyek berdasarkan empat pertanyaan utama: Apa yang
berjalan dengan baik? Apa yang tidak berjalan dengan baik? Apa yang dapat
dipelajari? Apa yang harus dilakukan secara berbeda di masa mendatang? Mengakui
dampak emosional perubahan dalam organisasi.
Dawson menunjukkan bahwa motif pribadi dan
profesional memiliki dampak besar terhadap apa yang diubah, kapan perubahan
terjadi, dan bagaimana perubahan tersebut terjadi. Hal ini memperkuat pandangan
bahwa manajemen perubahan lebih kompleks daripada yang diasumsikan oleh banyak
model perubahan sebelumnya. Pendekatan
terapeutik mengakui bahwa mengelola emosi adalah aspek penting dalam manajemen
perubahan. pendekatan terapeutik justru bekerja dengan emosi yang muncul selama
proses perubahan. Model ini mengasumsikan bahwa perubahan dapat dikelola secara
strategis dan terencana, tetapi kenyataannya lebih kompleks daripada sekadar
mengikuti daftar aturan. Pada akhirnya, yang benar-benar penting bukanlah
daftar langkah-langkahnya,
tetapi isi dari langkah-langkah tersebut dan bagaimana cara menerapkannya
secara efektif dalam konteks nyata.
MENGELOLA PERUBAHAN BUDAYA
Perubahan budaya organisasi adalah aspek
penting dalam manajemen perubahan, terutama dalam layanan publik. Manajemen
perubahan budaya melibatkan aspek formal dan informal dari organisasi, termasuk
nilai, norma, keyakinan, serta cara kerja seharihari.
Beberapa pemikir memiliki pandangan berbeda
tentang kesulitan perubahan budaya:
·
Brown berpendapat
bahwa perubahan budaya dapat dicapai dengan relatif mudah tanpa paksaan.
·
Anthony,
sebaliknya, melihat perubahan budaya sebagai proses sulit yang membutuhkan
kepemimpinan yang kuat dan penguatan berkelanjutan melalui siklus krisis dan
pembelajaran.
·
Gagliari mengusulkan
proses tiga tahap dalam perubahan nilai organisasi, yang mencerminkan
keseimbangan antara perubahan progresif dan kesinambungan nilai-nilai lama.
Buku ini menolak pendekatan "penghancuran
budaya" yang dapat merusak aspek positif dalam organisasi. Sebaliknya,
perubahan budaya yang bertahap dengan mempertahankan kesinambungan dianggap
lebih efektif.
Terhadap model perubahan budaya, Doherty &
Horne memperkenalkan model tiga tahap untuk mengelola perubahan budaya dalam
organisasi layanan publik, yaitu:
1. Surfacing Cultural Information
(Mengungkap Informasi Budaya)
Sebelum melakukan perubahan dalam budaya
organisasi, langkah pertama yang penting adalah memahami budaya yang telah ada.
Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai, norma, keyakinan, dan asumsi yang
dibagikan oleh individu dalam organisasi. Untuk memahami budaya yang sudah ada,
metode yang dapat digunakan adalah dengan Survey, Wawancara, dan Lokakarya sehingga
manajer dapat mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana budaya
organisasi dapat dikembangkan untuk mendukung tujuan strategis.
2. Interpreting
Cultural Information (Menafsirkan Informasi Budaya)
Charles Handy membagi budaya organisasi menjadi
empat tipe, yang diibaratkan dengan mitologi Yunani untuk memudahkan pemahaman,
sebagaimana dijelaskan:
a. Zeusian (Power Culture) – Budaya Kekuasaan
·
Dalam budaya ini, satu orang
atau kelompok kecil memegang kendali penuh atas organisasi, mirip dengan dewa
Zeus yang memiliki kekuasaan absolut.
·
Keputusan dibuat dengan cepat,
tetapi hanya oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan.
·
Cocok untuk organisasi kecil
atau perusahaan keluarga.
b. Apollonian (Role Culture) – Budaya Peran dan
Hierarki
·
Organisasi berfungsi seperti
mesin yang teratur, dengan aturan, prosedur, dan hierarki yang jelas seperti
sistem Apollo, dewa keteraturan.
·
Setiap orang memiliki tugas
yang jelas dan tetap, dan perubahan sulit terjadi.
·
Cocok untuk pemerintahan,
birokrasi, dan institusi besar.
c. Athenian (Task Culture) – Budaya Tugas dan
Fleksibilitas
·
Fokus utama budaya ini adalah
tugas dan proyek. Organisasi ini bersifat fleksibel dan mampu beradaptasi
dengan cepat.
·
Seperti Athena, dewi
kebijaksanaan, budaya ini menekankan kreativitas dan kolaborasi dalam
menyelesaikan masalah.
·
Cocok untuk tim proyek, perusahaan
teknologi, atau organisasi yang sering menghadapi perubahan cepat.
d. Dionysian (Person Culture) – Budaya
Individual dan Otonomi
·
Fokus utama adalah individu,
bukan organisasi. Orang bekerja sesuai keinginan dan kebutuhannya sendiri.
·
Organisasi seperti ini jarang
memiliki struktur formal dan lebih bersifat longgar.
·
Cocok untuk profesi yang
berpusat pada kreativitas, seperti seniman, penulis, atau konsultan independen.
Sementara itu, Model Parker dan Lorenzini juga
digunakan untuk mengategorikan budaya sebagai integratif, beragam, atau
terpolarisasi.
a. Budaya Integratif
·
Organisasi memiliki nilai dan
visi yang sama di antara semua anggota.
·
Ada kesepahaman yang kuat
tentang cara kerja dan tujuan organisasi.
b. Budaya Beragam
·
Organisasi terdiri dari
berbagai kelompok dengan budaya yang berbeda, tetapi mereka masih bisa bekerja
sama.
c. Budaya Terpolarisasi
·
Organisasi memiliki
kelompok-kelompok yang sangat berbeda, sering kali terjadi konflik atau
perbedaan pendapat yang besar di antara mereka.
3. Signalling Cultural
Change (Menandakan Perubahan Budaya)
Untuk mengubah budaya organisasi, kita perlu
melakukan tindakan simbolis dan nyata yang dapat dirasakan oleh semua orang.
Tindakan ini bisa berupa:
·
Mengubah cara komunikasi dalam
organisasi.
·
Memperkenalkan nilai-nilai
baru dalam kebijakan dan prosedur kerja.
·
Menunjukkan komitmen dari
pemimpin dalam menjalankan perubahan.
Contoh sederhana dari perubahan budaya adalah
ketika sebuah universitas mengubah tanda pintu masuknya dari "Mahasiswa
harus masuk melalui pintu belakang" menjadi "Pelanggan harus masuk
melalui pintu belakang", yang memicu perubahan lebih luas dalam cara
organisasi melihat mahasiswa.
Kesimpulan
Mengelola perubahan dalam layanan publik
membutuhkan strategi yang jelas agar bisa berjalan dengan baik. Ada dua cara
utama dalam melakukan perubahan, yaitu terencana (preskriptif) dan berkembang
secara alami (emergent). Kedua cara ini tidak harus saling bertentangan, justru
bisa dikombinasikan agar perubahan lebih efektif. Perubahan juga perlu dikelola
seperti sebuah proyek, yang memiliki tahapan perencanaan hingga evaluasi,
dengan bantuan alat seperti Gantt charts, PERT networks, dan critical path analysis
untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Namun, perubahan tidak hanya
soal perencanaan dan strategi, tetapi juga melibatkan emosi orang-orang dalam
organisasi. Banyak orang merasa khawatir atau menolak perubahan, sehingga
penting bagi manajer untuk memahami dan mengelola perasaan tersebut agar
perubahan dapat diterima dengan lebih baik. Selain itu, budaya organisasi juga
sangat berpengaruh karena mencerminkan nilai, kebiasaan, dan cara kerja yang sudah
ada. Oleh karena itu, perubahan sebaiknya dilakukan bertahap, dengan tetap menghormati
nilai-nilai yang telah ada, sambil menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah
simbolisme dalam perubahan budaya. Tindakan kecil seperti mengubah nama
departemen atau jabatan, mengganti slogan, atau mengubah tata letak ruang kerja
bisa memberikan dampak besar dalam mengarahkan cara berpikir orang-orang dalam
organisasi. Dengan strategi yang tepat, pendekatan yang fleksibel, serta
pemahaman terhadap aspek emosional dan budaya organisasi, perubahan bisa
dilakukan dengan lebih lancar dan menghasilkan hasil yang lebih baik untuk
jangka panjang.
Referensi:
Doherty, T. L., & Horne, T. (2002). Managing strategy and change in public services. In Managing public services: Implementing changes (Chapter 3, pp. [64-107]. London and New York: Routledge.